Ide solusi saya untuk merubah sistem birokrasi pemerintah Indonesia dengan menghapus jabatan DPR, DPRD, MPR, Camat, Bupati, Gubernur, Walikota, Kades, Ketua RT/RW dan beberapa Partai Politik ( 2023 )
Pada suatu ketika di tahun 2023, saya menghadiri sebuah acara sembahyang kematian.
Tanpa sengaja saya duduk bersebelahan dengan seorang pejabat DPRD di kota Palangkaraya.
Orang itu terlihat gagah, memakai jam tangan, memakai baju batik dan supel.
Orang itu lalu berbicara dengan saya dan berkenalan dengan saya.
Juga dengan beberapa orang orang di sekitarnya.
Anda tentu tahu apa yang ia bicarakan. Politik aja melulu yang ia ucapkan...?
Dari awal hingga akhir perbincangan yang beliau bicarakan hanya cuma menyangkut masalah politik.
Ya, Afrid fransisco cuma ngangguk ngangguk aja.
Ide solusi saya untuk merubah sistem birokrasi pemerintah Indonesia dengan menghapus jabatan DPR, DPRD, MPR, Camat, Bupati, Gubernur, Walikota, Kades, Ketua RT/RW dan beberapa Partai Politik ( 2023 )
Jadi apa problem masalahnya.
Di Indonesia topik politik begitu kental. Tak ayal mengapa orang yang saya temui hanya bicara masalah politik dan jabatan saja. Berbicara tentang keluhan masyarakat, dirinya lupa ingatan sehingga mayoritas pembicaraan hanya masalah jabatan, jabatan dan jabatan saja. Tidak ada yang lain. Jabatan, kekuasaan uang partai politik dan pencoblosan pemilu saja yang dibahas.
Aku pikir, disini masalah utama negara Indonesia yaitu tentang sistem birokrasi pemerintahan yang mengedepankan jabatan politik. Ketimbang menyelesaikan permasalahan rakyat.
Pejabat yang seharusnya melayani masyarakat. Malah hanya membahas politik, uang tahta, rebutan kursi dan jabatan saja dengan harapan mampu meraih kekayaan dari kursi ketahtaan.
Boom....,
Ini dia.
Bagaimana ide saya untuk merubah sistem birokrasi di Indonesia yang dikenal rumit.
Sekarang mari kita berbicara dengan data.
Ada berapa jumlah seluruh anggota DPR, DPRD dan MPR di Indonesia yang berada di pusat dan daerah. ( kota, provinsi & kabupaten ).
Jawab sekitar 24.015 ribu orang.
Gaji rata rata mereka yang harus rutin dibayar dari sumber APBN untuk para pejabat DPR, DPRD dan MPR berkisar dari mulai Rp 36.000.000 juta rupiah - Rp 45.000.000 juta perbulan. Belum termasuk tunjangan, bonus dan insentif yang dapat mencapai lebih dari Rp 1 miliar rupiah.
So, ini memang sulit dibayangkan bagi kebanyakan orang.
Menurut aku jumlah sebanyak 24.015 ribu pejabat DPR, DPRD dan MPR tersebut kebanyakan.
Sesungguhnya cukup 100 orang saja.
Artinya lembaga DPR, DPRD dan MPR harus dihapus. Lalu diganti dengan lembaga baru yang hanya memiliki 100 orang saja yang terdiri dari partai politik dan berkantor pusat hanya di IKN tanpa perlu membuka kantor cabang yang megah di tiap tiap daerah yang berarti hanya pemborosan infrastruktur saja.
Tetapi apakah DPR, DPRD dan MPR dapat di hapus.
Jawabnya bisa, jika Indonesia memiliki presiden tangguh yang lebih kuat untuk berniat dan berhasrat mulai melawan sistem kesalahan ini.
Ide saya ini sebenarnya bukan hal yang baru.
Sudah ada sejak zaman mantan presiden Gus dur selama bertahun tahun yang lalu yang juga beliau berniat menghapus DPR, DPRD dan MPR. Tetapi mereka mengelak lalu membuat undang undang baru bahwa diri mereka kebal terhadap intervensi presiden.
Tugas pekerjaan birokrasi DPR, DPRD dan MPR yang ada saat ini sebenarnya kebanyakan seperti pembahasan diatas tidak berguna dan rapat yang mereka lakukan setiap hari itu juga tidak berguna.
Tugas DPR, DPRD dan MPR sesungguhnya dapat dilakukan oleh 100 orang saja.
Bukan berarti saya bilang DPR, DPRD dan MPR itu tidak penting. Tugas mereka dibeberapa hal masihlah dianggap penting, hanya saja perlu diganti dengan lembaga baru yang beranggotakan 100 orang saja.
Baca juga :
~ Mengapa DPR, DPRD dan MPR harus dihapus alihkan ke MTI ( Mahkamah Tertinggi Indonesia ) ( 2022 )
Masalah kedua yaitu partai politik.
Jumlah partai politik di Indonesia yang diverifikasi administrasi mencapai sebanyak 18 partai.
18 partai itu menurut saya kebanyakan.
18 partai itu artinya ada 18.000.000.000.000 masalah baru bagi Indonesia jika mempertahankan jumlah partai sebanyak itu.
Padahal cukup 3 partai saja sudah dapat menghandle seluruh pesta demokrasi yang ada di Indonesia.
Di negara Super Power Amerika Serikat saja, jumlah partai hanya ada 2.
Lho kok di Indonesia ada 18 partai.
Kata bang haji Rhoma Irama. Terlalu...!!!
Kata mas Afghan. Sadis...!!!
Kebanyakan partai politik artinya hanya buang uang uang APBN saja, boros dan tidak efektif. Pesta demokrasi di Indonesia sepertinya lebih cocok disebut sebagai 'Pesta Boros'. Memboroskan terlalu banyak nasi tumpeng saja.
Masalah ketiga yaitu sistem struktur jabatan pemerintahan yang juga terlampau kebanyakan seperti camat, bupati, gubernur, walikota, kades, ketua RT/RW dan lain lain sebagainya.
Menurut aku tidak perlu juga. Cukup menggunakan ASN/PPPK saja sudah dapat menghandle semua pekerjaan pemerintahan tersebut. Dengan cara begini, maka tidak ada lagi niat orang orang yang berniat menduduki kursi tahta tersebut dan lingkungan jalanan juga bersih karena tidak ada lagi kampanye spanduk, baliho, brosur untuk pemilu pemilihan umum untuk gubernur, walikota, dll.
Pemilu hanya untuk pemilihan presiden saja. Tidak boleh ada pemilu yang lainnya. Rakyat juga bingung ya mau nyoblos apa kalau banyak wajah yang harus ditusuk pakai paku.
Ide saya, ASN/PPPK dapat menggantikan jabatan jabatan seperti walikota, gubernur, camat, dll.
Dimana ASN/PPPK di bagi menjadi tiap jenjang 1.000 orang per 1.
Lalu dari 1 ini dikumpulkan lagi per 1.000 orang per 1.
Lalu dari 1 ini dikumpulkan lagi per 1.000 orang per 1.
Kemudian ketua ASN/PPPK per pimpinan 1.000 melaporkan data ke menteri yang ada di pusat IKN.
Menteri lalu melaporkan data ke presiden.
Setiap kota dan propinsi tidak lagi perlu membutuhkan gubernur dan walikota. Semua pekerjaan ini dapat dihandle cukup oleh ASN/PPPK.
Setiap kecamatan tidak lagi perlu membutuhkan camat. Semua pekerjaan ini dapat dihandle cukup oleh ASN/PPPK.
Setiap kabupaten tidak lagi perlu membutuhkan bupati. Semua pekerjaan ini dapat dihandle cukup oleh ASN/PPPK.
Untuk merubah sistem birokrasi di Indonesia ke 'Demokrasi Versi 2.0' memang sulit.
Pada tahun 1999. mantan presiden Gusdur pernah mencoba tapi gagal untuk melakukan perubahan reformasi ke sistem birokrasi yang lebih baik karena dilawan oleh DPR, DPRD, MPR, dll.
Tanpa presiden sehebat itu, maka sampai kapanpun sistem birokrasi di Indonesia bakal terus berantakan tak tertolongkan, karena hanya ini satu satunya solusi tidak ada yang lain.
Terima kasih. Semoga bermanfaat ya. GBU.