Skip to main content

Semua mobil listrik EV pada akhirnya akan bangkrut. Masa depan mobil dan motor sesungguhnya adalah berbahan bakar E100 atau B100 berbasis minyak dari tanaman jagung, kelapa sawit, bunga matahari ( 2025 )

Euforia kendaraan listrik atau Electric Vehicle (EV) yang selama ini digembar gemborkan di berbagai media sebagai masa depan transportasi akan segera berakhir.

Temuan saya menemukan bahwa model bisnis otomotif menggunakan baterei terbukti tidak berkelanjutan.

Mayoritas kendaraan listrik yang ada di dunia ketergantungan pada insentif atau subsidi yang diberikan dari pemerintah. Jika andaikan pemerintah tidak memberikan subsidi atau keringanan pajak maupun insentif lainnya. Maka dipastikan satu per satu perusahaan otomotif mobil listrik atau motor listrik bakal kolaps, gulung tikar atau gugur satu per satu.  

Mayoritas perusahaan EV ( electric vehicle ) di seluruh dunia di topang dengan cara menikmati keindahan subsidi dan insentif. 

Padahal tahukah anda darimana asal usul uang subsidi tersebut. 

Uang subsidi itu berasal dari pajak warga negara yang dipotong dari gaji bulanan anda setiap bulan, dipotong dari platform investasi anda, di potong otomatis pada saat pembayaran tagihan pada aneka macam toko minimarket, supermarket, toko online dan lain lain sebagainya antara mulai dari 10% hingga diatas 22% dari produk yang terdiri dari pajak PPN 12% dan pajak penjualan 11%. Belum termasuk tambahan pajak cukai. Jadi, pada akhirnya, rakyatlah yang menanggung beban subsidi untuk industri EV. Karena pemerintah melalui pejabatnya mengalihkan uang pajak rakyat ke subsidi EV. 

Tanpa subsidi, bisnis EV tidak mampu bertahan dan ini dapat menyebabkan kebangkrutan massal bertahap pada daftar perusahaan perusahaan otomotif tersebut jika subsidi dihapus atau tidak diberikan oleh pemerintah. 

Mobil listrik berbasis baterei punya banyak kelemahan, harga batereinya mahal hampir setengah dari harga mobil itu sendiri, kendala cepat rusak pada baterei, ketergantungan pada mineral tanah jarang ( rare earth ) yang pasokannya begitu kronis, daya pengisian waktu charger baterei begitu lama menunggu hingga bermenit menit jika dibandingkan dengan E100 tidak sampai 1 menit sudah terisi penuh ( full ).

Pada hakekatnya, mobil listrik atau motor listrik tidak realistis. 

Alhasil, ini bakal membuka jalan bagi solusi otomotif yang berkelanjutan dan agak ramah lingkungan dengan menggunakan bahan bakar nabati E100 dan B100 yang berbasis dari tanaman kelapa sawit, jagung, bunga matahari, dll sebagainya. 

Model bisnis EV pada intinya secara fundamental adalah cacat. 

Selama ini bisnis EV bersifat 'MANJA' dengan hanya mengandalkan dan mengakali celah pada hukum, peraturan undang undang dan kebijakan pemerintah untuk agar dapat diberikan subsidi & insentif. Yang disisi lain hanya memberikan beban ekonomi krusial pada masyarakat pembayar pajak dan terbukti menyebabkan ketimpangan sosial hanya menguntungkan segelintir pihak kelas atas tapi merugikan banyak lapisan masyarakat kelas bawah yang menyebabkan biaya produk kehidupan sehari hari menjadi mahal. Alhasil memicu penurunan daya beli masyarakat terkuras akibat dialihkan oleh pemerintah ke subsidi EV yang boros biaya, tidak efektif dan tidak efesien di bandingkan mobil berbahan bakar E100 & B100. 

Baterei EV dikenal rakus terhadap pertambangan mineral kritis langka seperti nikel, lithium, kobalt, LFP, dll. Ini menjadi aktor penyebab kerusakan lingkungan yang parah pada kesehatan bumi. Rantai pasokannya berbahaya mencemari alam dan merusak alam. Ketimbang mobil berbasis nabati. Hanya mengandalkan mineral berlimpah seperti baja, nikel, tembaga dan besi yang ajaibnya dapat didaur ulang terus menerus secara berkelanjutan. 

E100 (Etanol 100%) dan B100 (Biodiesel 100%) muncul sebagai jawaban yang lebih masuk akal dan implementatif untuk masa depan transportasi seluruh dunia, bukan motor listrik atau mobil EV.

Mengapa E100 dan B100 adalah masa depan yang sesungguhnya dari industri otomotif.

Pertama : Ini dapat memanfaatkan infrastruktur yang sudah ada. 

Stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) yang tersebar di seluruh penjuru dunia dapat dengan mudah diadaptasi untuk mendistribusikan E100 dan B100. Ini menghilangkan kebutuhan akan investasi triliunan rupiah untuk membangun jaringan stasiun pengisian daya EV baru yang selayaknya tidak perlu dibangun.

Kedua : E100 dan B100 dapat diproduksi dari sumber daya alam terbarukan dari hasil menanam tanaman atau pohon. Memiliki jejak karbon yang lebih rendah secara siklus hidup (life cycle) dibandingkan dengan produksi baterai EV yang merusak lingkungan. Program B100, misalnya, tidak hanya akan mengurangi emisi gas rumah kaca, tetapi juga menstabilkan harga komoditas sawit dan meningkatkan kesejahteraan petani atau perusahaan kelapa sawit.

Era EV akan mulai meredup mulai tahun 2025 ini. 

Kebangkrutan massal perusahaan EV bukanlah sebuah pertanyaan lagi. 

Tetapi hanya tinggal menunggu waktu saja "kapan waktu itu tiba hingga subsidi membengkak tak tertahankan, disitulah mulai satu per satu industri EV bakalan berguguran". 

Selamat datang di era E100 dan B100.

Baca juga artikel saya yang lainnya : 

Bukan mobil listrik TESLA atau BYD. Inilah mobil ramah lingkungan sesungguhnya : Toyota Fortuner E100. Minim kanker, lebih murah biaya dibandingkan electric vehicle yang mahal diongkos baterei dan Flexy fuel E-100 mampu mengurangi kerusakan alam ( 2025 )

Terima kasih. Semoga bermanfaat ya. GBU.