Lompat ke konten Lompat ke footer

3 kali alasan mengapa saya masuk IGD (instalasi gawat darurat) (2021)

Sakit itu menyakitkan. Apalagi harus masuk IGD. Artikel ini saya tulis cuma buat ngisi waktu luang aja ya. Siapa tahu saya membacanya lagi jika ada waktu. Kalau teman teman ngga mau baca juga ngga apa apa sih. he he…, Karena menyangkut tentang permasalahan saya saja. Siapa tahu bermanfaat buat menambah ilmu bagi anda dari pengalaman kesalahan saya atau bagi orang tua yang memiliki anak dengan riwayat penyakit seperti saya dapat mengambil ancang ancang untuk menindaklanjuti dikemudian hari.
 
Yuk, langsung saja ya.

 
1]. Masuk IGD pertama (I)
 
Ketika itu saya masih berumur kira kira antara 7 atau 8 tahun. Duduk di bangku kelas 2 atau 3 SD. Nah, sepulang sekolah. Kami sekeluarga menyantap makanan seperti biasa. Duduk di lantai dengan tikar dari anyaman rotan.
 
Waktu itu kami cuma ada 4 orang. Karena adik paling bungsu belum lahir.  
 
Beberapa saat kemudian. 15 menit setelah makan. Saya teriak dan menangis. Pada intinya, waktu itu sakit sekali sekujur tubuh saya. Saya terbaring di kasur kamar sambil menangis kesakitan. Teriak keras sekali. Perut sakit perih banget dan muntah berkali kali.
 
Aku ingat mamah memijat saya.
 
Setelahnya, saya lupa kejadian berikutnya.
 
Sepertinya saya pingsan.
 
Ketika mata saya terbuka, saya melihat sekeliling sudah berada di rumah sakit.  
 
Ada banyak keluargaku datang ke rumah sakit.
 
Pertama kali membuka mata, penglihatan awal saya melihat jam dinding di rumah sakit menunjjukkan pukul 4.
 
Lalu saya bilang :
 
Aku mau pulang, mau nonton pendekar rajawali. Kataku.
 
***
 
Dokter bilang kepada orangtuaku bahwa aku alergi ikan pipih. 
 
Sontak mengetahui hal itu, papahku langsung melarang mamah memasak ikan pipih lagi. Papah juga setiap aku belanja makanan selalu selektif memilih kandungan snack yang mengandung ikan pipih selalu disingkirkannya. Seperti kue amplang dan lain sebagainya. Bahkan ketika pergi ke pasar. Papah menunjjukkan jenis ikan terlarang yang tak boleh saya konsumsi.
 
Entahlah, mengapa hanya aku yang alergi ikan pipih.
 
Padahal semua keluarga tak ada masalah dengan ikan pipih.   
 
2]. Masuk IGD kedua (II)

 
Untuk kedua kalinya saya masuk ke IGD akibat kasus yang sama yaitu alergi ikan pipih.
 
Kejadian terjadi setelah puluhan tahun sejak alergi pertama kali.
 
Nah, kali ini terulang lagi saat kuliah.  
 
Waktu itu saya menjemput mamah dari kantor. Lalu mamah mengajak saya makan di warung ikan bakar. Mamah memilih ikan pipih sedangkan aku memilih ikan patin goreng.
 
Entahlah, kenapa saya waktu itu pengen mencicipi ikan pipih punya mamah. Tapi secuil aja saya makannya.
 
Sontak aja, tak butuh waktu lama. 15 menit setelah makan. Mata dan hidung saya seperti dilempar pasir. Kemudian saya jadi bertingkah mondar mandir kesana kemari karena merasa tubuh ngga nyaman. Lalu menangis histeris.
 
30 menit kemudian. Kepala menjadi pusing sekali dan sesak nafas. Kelopak mata membengkak, lalu wajah berubah membengkak seperti habis dipukuli orang.
 
Beruntung, waktu itu kami sudah sampai dirumah.  
 
Tadinya saya masih bisa berdiri. Sekarang harus terkapar.
 
Karena dada terasa sakit, nafas menjadi pendek mengeluarkan bunyi ngik ngik, wajahku membengkak secara total dan dari ujung kaki sampai kepala muncul bintik bintik merah sebesar kelereng.
 
Pada intinya sakit sekali. 1 jam setelah mengkomsumsi ikan pipih, saya sudah kesulitan berdiri, terus menangis dan mengeluarkan kata kata pun butuh tenaga ekstra.  
 
Lalu Via (kakak sepupu saya) dan papah datang.

Kakak Via bilang harus dibawa kerumah sakit. Kita ngga bisa mengobatinya, harus disuntik. Katanya.
 
Terus papah bergegas pergi ke tetangga sebelah rumah untuk memanggil mas Jaya sambil bawa mobilnya buat dipinjamin untuk ngantarin aku ke IGD.
 
Di rumah sakit, saya masih punya setengah kesadaran. Bukan seperti sejak SD sudah pingsan duluan. Nah, di IGD saya dipasang tabung ventilator, di infus dan di suntik 3 kali.  
 
Di rumah sakit. Saya istirahat selama 3 jam. Puji Tuhan Yesus saya sembuh tanpa harus opname.  

Baca juga :
 
3]. Masuk IGD ketiga (III)

 
Dalam pikiranku ah ngga papa hujan. Udah biasa basah gini kalau habis dari pulang sekolah. Hujan ya saya terjang saja naik motor biar cepat pulang ke rumah.
 
Tapi kali ini berbeda. Karena tanpa perlindungan tas, sepatu, jaket dan helm.
 
Ketika itu jam 5 sore menjelang malam.
 
Aku mencari tanaman apu apu di air rawa rawa dekat taman nasional Sabangau sebagai pakan ternak babi.
 
Hujan, angin deras, ada kilat dan guntur. Aku tetap masih ada disana. Tanpa pelindung apapun.
 
Karena babi aku belum makan, maka aku usahakan mereka makan walaupun hujan.
 
Saat kejadian. Aku merasa dingin sekali menusuk ke tubuhku.
 
Tapi pikiranku terus berkecamuk. Aku terus memaksa diriku untuk tetap memberi makan babi walaupun kedinginan. Karena jika aku ngga memberi mereka makan, tak ada orang lain yang memberi dan babiku pasti kelaparan.  
 
Jadi aku paksakan saja saat itu, basah basahan.
 
Setelah selesai memberi makan.
 
Tubuhku merasa kedinginan. Selain merasa kedinginan aku juga kelelahan dan cape banget habis mencangkul.
 
Akhirnya jatuh sakit dibawa ke IGD.
 
Di IGD saya diambil darah, disuntik dan diinfus.
 
Puji Tuhan Yesus saya sembuh tanpa harus opname.  
 
Beberapa hari kemudian, saya coba cek resep obat yang diberikan dokter. Ternyata mengacu ke demam hipotermia.
 
Sebelum hujan sebenarnya mamah sudah bilang cepat pulang nanti sakit.
 
Pengalaman ini menyadarkan saya bahwa terpapar hujan deras dalam waktu lama dapat berbahaya bagi kesehatan kita. Dari peristiwa ini saya ngga pengen lagi kayak gitu. 

Baca juga :
 
Gejala yang saya alami akibat terpapar hujan deras. Yaitu :
 
1]. Pusing kepala.
 
2]. Mual.
 
3]. Kedinginan (menggigil di sekujur kaki, tangan dan anggota tubuh lainnya)
 
4]. Sesak nafas.
 
5]. Jantung terasa lambat bergerak.
 
6]. Kesulitan bergerak.

7]. Ngga nafsu makan. 
 
8]. Pingsan. 

Jika teman teman atau keluarga memiliki gejala seperti ini ketika terpapar hujan deras yang dingin. 

Cepat cepat bawa ke IGD sebelum terlambat ya. 
 
Terima kasih. Semoga bermanfaat ya. GBU