Cinta itu memang datangnya tiba tiba, seperti sambal pecel yang nyangkut di tenggorokan, nggak enak, tapi bikin ketagihan.
Setelah 39 tahun menjomblo. Aku tanpa sengaja bertemu pertama kali dengan seorang cewek barista yang cantik bertubuh langsing, berambut panjang, berkulit putih dan berhidung mancung.
Namanya mba Rina, seorang pendatang baru yang bekerja barista di kafe dekat kosanku.
Aku jatuh cinta dengan mba Rina, sejak pertama kali memandang wajahnya.
Iseng iseng aku rutin datang ke kafe buat beli kopi Americabucks ukuran kecil.
Pura pura jadi anak kafe sejati.
Ketika aku datang : Mba rina selalu ngucapin "selamat datang mas" dengan senyum wajah manisnya yang bikin hatiku terpersona. Gara gara dia, aku sering ngga konsen.
Aku lalu coba pesan Americabucks dengan gaya sok tahu pernah ngerasain.
Pas nyeruput, aku kaget. Kok rasanya kayak kopi sachet biasa aja, cuma lebih encer. Tapi aku tetap senyum kepada mba Rina. "Enak banget mbak. Kataku.
Padahal dalam hatiku, dompetku menangis sedang berkata : Kamu ngapain sih bro, beli kopi seharga Rp 50.000 ribu.
Walaupun mahal. Aku tetap jadi pelanggan setia kopi Americabucks buatan mba Rina. Hanya demi agar selalu bisa bertemu & sambil curi curi pandang ke arah mba Rina.
Kadang dengan berani sok gaya akrab berbicara dengan mba Rina.
Mba, pagi ini kelihatannya cerah banget ya, sahutku. Atau jangan jangan hari ini cerah karena ada mba di hatiku.
Rina yang cantik itu pun tertawa dan tersenyum balik.
Setelah berminggu minggu jadi pelanggan setia dan selalu gombalin dirinya.
Aku akhirnya memberanikan diri untuk mengajak mba Rina ngobrol lebih serius.
Mba Rina, kataku dengan suara kali ini agak sedikit bergemetar.
"Kalau ada waktu, mungkin kita berdua bisa keluar dan ngopi bareng di tempat lain.
Mba rina tersenyum hangat seperti biasa, seperti senyum kasir Alfamart saat bilang "maaf, ini barangnya sudah sold out".
Rina kemudian menjawab dengan lembut.
Boleh mas, tapi nanti aku telepon WA suami saya dulu yang ada di desa Konoha ya.
Duaar...
Hatiku langsung merana saat itu.
Jantungku kaku parah seperti berada di pesawat yang sedang mengalami turbulensi asmara.
Dan yang lebih nyesek lagi. Aku baru sadar dompetku sudah habis sia sia Rp 4.500.000 juta rupiah buat beli minum kopi Americabucks selama 3 bulan.
Keesokan harinya, aku berhenti jajan di kafe tempat mba rina bekerja itu.
Bukan karena sekedar patah hati, tapi dompetku sejak lama protes, ngamuk dan marah marah.
Sekarang aku kembali ke kopi sachet seharga Rp 2.000 perak.
Sambil ditemani ruangan udara panas dan kipas angin kosan kosanku untuk menyejukkan hatiku yang panas.
Tapi aku tetap tersenyum bahagia.
Karena memang cinta itu mirip seperti kopi.
Kadang terlalu pahit, kadang terlalu manis.
Dan menyadarkan aku bahwa yang diperjuangkan ternyata sudah dimiliki orang lain.
Mbak Rina memang bukan untukku.
Tapi dia telah mengajarkanku pelajaran berharga :
Jangan jatuh cinta sebelum tanya status orang dulu.
Dan kini, setiap kali aku melihat kafe kopi Americabucks, aku hanya bisa berkata pada diriku :
Pilihlah kopi sesuai anggaran APBN dompetmu.
Terima kasih. Semoga bermanfaat ya. GBU.